Selayang Pandang

SEJARAH NEGERI DAN JEMAAT

Kepercayaan masyarakat negeri Soya yang dianut sebelum agama di Negeri Soya adalah merupakan agama leluhur yang mendewakan alam semesta sebagai unsur pemujaan seperti bulan, bintang, bebatuan, pohon dan lain sebagainya yang nantinya bermuara kepada kehadiran tradisi megalitik dengan konsep kepercayaan yang telah berkembang dan terfokus kepada bentuk-bentuk pemujaan leluhur atau nenek moyang dengan menggunakan bebatuan sebagai lambang atau sarana pemujaan yang berkaitan upacara dimaksud. Upacara adat yang sangat penting dan menjadi pusat dari pemujaan pada leluhur dan Sang Pencipta adalah naik baileu (upacara adat). Dalam upacara naik baileu dalam ”kabata” (ucapan-ucapan adat) oleh Kepala Soa Adat terlihat adanya kepercayaan kepada Sang Pencipta/Ilah dari semua yang berkuasa ” Upu Ilah Kahuresi” yang dapat diartikan sebagai Allah yang Maha Besar.

Penduduk Negeri Soya adalah masyarakat yang ramah dan religius, dengan gotong royong sebagai ciri khas masyarakat negeri penghasil durian dan salak ini. Nilai-nilai adat dan budaya seperti : Naik Baileo, Cuci Air, Kain Gandong, Naik Ke Gunung Sirimau, selalu terpelihara dengan baik dan merupakan sebuah tradisi budaya yang telah menjadi Icon negeri hingga saat ini.

Sebelum kedatangan Bangsa Portugis di Maluku pada tahun 1512, negeri Soya merupakan suatu kerajaan yang berdaulat. Raja negeri Soya kala itu adalah Latu Selemau dengan istrinya Ina Perak dan mempunyai tujuh orang Putera serta seorang Putri, yang bernama Sabilla Marualessy, atau sering disebut orang Ambon dengan ”Nene Luhu”. Kerajaan Soya saat itu cukup berpengaruh. Ini terbukti antara lain dengan pemberian salah satu gelar kepada Latu Selemau oleh kerajaan Majapahit yang pernah menjalin kerjasama dengan raja Soya, adalah “LATU SELEMAU AGAM RADEN MAS SULTAN LABU INANG MOJOPAHIT.” Gelar ini berkenaan dengan hubungan politik dan hubungan dagang, bahkan perkawinan dengan orang-orang dari Kerajaan Majapahit. Di masa itu, wilayah kekuasaan kerajaan Soya mencakup sembilan negeri kecil, sebagai berikut; 1. Uritetu, suatu negeri yang diperintah oleh ”Orang Kaya”. Negeri ini letaknya di sekitar Hotel Anggrek. Uritetu artinya dibalik bukit; 2. Honipopu, adalah sebuah negeri yang diperintah oleh “Orang Kaya”. Negeri ini letaknya di sekitar Kantor Kota Ambon saat ini; 3. Hatuela, juga di bawah pimpinan seorang “Orang Kaya”, letaknya di antara Batu Merah dan Tantui sekarang. Hatuela artinya Batu Besar; 4. Amantelu, dipimpin oleh seorang “Patih”, yang letaknya dekat Karang Panjang. Amantelu artinya, Kampung Tiga; 5. Haumalamang, dipimpin seorang “Patih”, letaknya belum dapat dipastikan. (diperkirakan di negeri Baru dekat Air Besar Karang Panjang); 6. Ahuseng, dipimpin oleh “Orang Kaya”, letaknya di Kayu Putih sekarang; 7. Pera, dipimpin oleh “Orang Kaya”, letaknya di Negeri Soya sekarang; 8. Erang, dipimpin oleh “Orang Kaya”, letaknya di belakang Negeri Soya sekarang. Erang berasal dari nama “Erang Tapinalu” (Huamual di Seram); 9. Sohia, adalah Negeri tempat kedudukan Raja, letaknya antara Gunung Sirimau dan Gunung Horil; Di masa itu, Latu Silimau dibantu oleh panglima perang Kapitang Hauluang dengan kapitang-kapitang kecil sebagai kepala pasukan panah, tombak dan parang salawaku yang beranggotakan 300 orang prajurit dan didukung oleh sekitar 1000 rakyatnya.

Hubungan dagang kerajaan Soya dengan Hitu, Ternate, dan Tidore bahkan Raja-Raja Goa terjadi pada akhir abad 14 saat Kerajaan Mojopahit telah pudar kekuasaannya dan kerajaan Islam mulai tumbuh. Bersamaan dengan itu, masuklah Armada Portugis yang menjadikan Kerajaan Soya kurang dipengaruhi oleh budaya Hindu maupun Islam.

Kedatangan bangsa Portugis tidak mendapat sambutan baik dari Raja dan rakyat Soya sehingga timbulah perlawanan. Perlawanan masyarakat tersebut dipimpin oleh tujuh anak Latu Selemau yang menguasai Soa Ahuseng, Soa Amantelu, Soa Uritetu, Soa Labuhan Honipopu, dan Soa Atas. Perlawanan ini ternyata tidak membuahkan hasil. Kerajaan Soya takluk kepada Portugis. Kekalahan ini berhasil merubah wajah dan status negeri Soya dari sebuah kerajaan yang berdaulat menjadi bagian dari daerah yang dikuasai oleh Portugis. Selanjutnya, Portugis juga berhasil membaptis Latu Selemau dan memberinya gelar dom (tuan besar) Rodrigos Brandos Fresdimas. Menurut Pattikayhatu, proses pembaptisan Latu Selemau terjadi pada tahun 1518. Keterangan waktu ini memang perlu ditelusuri lebih mendalam secara historis. Namun peristiwa pembaptisan mungkin saja benar terjadi, sebab proses kolonialisasi yang dilakukan oleh bangsa Portugis selalu menyertakan didalamnya tujuan misi, yaitu mencari Gold (berupa rempah-rempah dari Maluku), Glory( Keagungan sebagai suatu bangsa kolonial), dan Gospel (Pemberitaan Injil). Seiring dengan ekspansi kolonialisasi, proses penginjilan pun dilakukan. Disamping itu, prinsip politik kolonialisasi yang berlaku dimasa itu juga dapat menjadi pendorong upaya bangsa kolonial ini untuk membaptis Raja Soya saat itu. Prinsip politik yang dimaksudkan adalah cuius regio, eius religio (= siapa punya daerah, dia punya agama atau agama raja adalah agama rakyat). Hal ini berkaitan erat dengan wilayah kekuasaan yang cukup luas dari Raja Soya, sehingga bukan tidak mungkin upaya membaptis Latu Selemau bertujuan sekaligus untuk menguasai wilayah kekuasaannya juga. Namun, sekali lagi ini barulah suatu hipotesis historis. Menurut tradisi, api Injil mulai dinyalakan di Soya oleh seorang Misionaris Ordo Jesuit, yaitu Fransiskus Xaverius pada tahun 1546. Itu sebabnya, di depan gereja tua soya, hingga saat ini, monumen wajah Xaverius masih berdiri sebagai suatu bukti sejarah.

Melacak Jejak Xaverius (14 Februari 1546- Juni 1547): Dari Hative Ke Soya
Dr. M. Tapilatu, seorang sejarawan gereja, mengisahkan bahwa proses masuknya kekristenan di Maluku Tengah tidak dapat dipisahkan dari kehadiran orang-orang Portugis sejak tahun 1512. Pada tahun 1515 atas izin raja Hitu, mereka mendirikan sebuah loji (kantor dagang) di Hitu sebagai tempat berlabuh kapal dagang mereka yang berlayar dari Banda ke Ternate dalam rangka perdagangan rempah-rempah (pala dari Banda dan cengkih dari Ternate). Ketika loji hendak ditingkatkan statusnya menjadi sebuah benteng, keinginan itu ditolak oleh penguasa Hitu yang beragama Islam, dan kemudian kepada mereka ditunjuk negeri Hatiwe dan Tawiri sebagai tempat berlabuh yang baru sekaligus untuk memperbaiki kapal-kapal dagang mereka. Alasan lainnya ialah karena kedua negeri “termasuk Uli Siwa dan pemakan babi” dan di sana terdapat tenaga-tenaga yang cukup terampil untuk memperbaiki kapal-kapal mereka. Di tempat baru ini, orang-orang Portugis berbaur dengan penduduk setempat dengan menikahi perempuan-perempuan di sana.

Karena kedua negeri termasuk dalam wilayah kekuasaan Hitu, maka orang-orang Hitu pergi dan menetap di sana. Kehadiran orang-orang ini sering menimbulkan bentrok dengan penduduk kedua negeri yang berlatar belakang Uli Siwa dan cenderung menentang penguasa Hitu yang Islam. Realitas demikian mendorong pemuka negeri Hatiwe (yang kemudian disebut Orang Kaya Hatiwe) bersama kakak perempuannya dan sejumlah pengikutnya pergi ke Malaka dan kemudian ke Goa (India) pada tahun 1536 untuk meminta bantuan penguasa Portugis dalam menghadapi orang-orang Hitu. Di sana mereka bersedia dibaptis menjadi Kristen dengan mengambil nama Dom Joao dan Donna Isabella.2 Merekalah yang merupakan buah sulung kekristenan di Maluku Tengah (Thn. 1536).

Kegiatan pengkristenan di Maluku Tengah secara efektif, terutama di pulau Ambon dan sekitarnya dimulai secara intens ketika armada Portugis yang diutus ke Ambon oleh Antonio Galvao, Panglima Portugal di Ternate, sesuai permintaan Orang Kaya Hatiwe, berhasil mengalahkan satu armada besar dari Jawa yang membawa bantuan senjata ke Hitu pada tahun 1538. Kesuksesan itu diikuti oleh kegiatan misi dan berhasil mengkristenkan tiga negeri pertama di pulau Ambon yakni Hatiwe, Amantelu (salah satu wilayah dari negeri Soya) dan Nusaniwe, kemudian disusul empat negeri berikutnya, masing-masing Amahusu, Eri, Silale dan Namalatu. Masyarakat di negeri ini dibaptis oleh pastor Armada. Kemudian seorang imam meneruskan proses penginjilan dan pembaptisan bagi penduduk di tempat-tempat lain di jasirah Leitimur dan di tepi barat teluk Ambon. Proses kristenisasi terus berlangsung hingga kedatangan Fansiskus Xaverius pada Februari 1546, telah ada tiga puluh negeri besar maupun kecil dengan jumlah orang Kristen mencapai sekitar 8000 jiwa (SGKI 1:82).

Waktu itu musim kemarau ketika Xaverius dan para pengantarnya (seorang saudagar Joao d‟Arauyo dan Ruy Dias Pereira, dll) mendarat di Hatiwe pada pertengahan bulan Februari 1546. Masyarakat Hatiwe dengan begitu antusias menyambut Xaverius dan rekan-rekannya, karena sudah lama orang-orang Kristen di sana merindukan datangnya seorang imam. Xaverius kemudian mendirikan rumah kecil dengan dinding gaba-gaba dan beratapkan daun sagu. Selain itu, dibangun juga suatu kapel sebagai tempat ibadah, dan di depannya sebuah salib dari dahan pohon ditegakan di tengah kampung sebagai tanda bahwa kampung itu sudah menjadi Kristen.

Segera sesudah kedatangannya, Xaverius mulai menjalankan kegiatan penginjilannya. Ia mengunjungi orang-orang Portugis yang telah lebih dahulu ada di Hatiwe, dan tempat lain di sekitarnya. Bersama seorang anak lelaki yang membawa Salib di depan dan sekaligus menjadi juru bahasanya, serta rombongan anak lain sebagai penghantar, Xaverius mengunjungi setiap orang dari rumah ke rumah, melayani orang sakit, berdoa kepada mereka, dan mengajarkan anak-anak mereka. Kemudian jika mereka mau menjadi Kristen, maka mereka dapat dibaptis oleh Xaverius.

Bersama dengan Manuel, anak laki-laki kepala kampung Hatiwe, Xaverius kemudian melanjutkan kunjungannya ke kampung Kristen lain di Ambon yang dilakukan sejak pertengahan Februari sampai Maret 1546. Kunjungan pertama dilakukan oleh Xaverius melalui laut, yaitu dari Hatiwe ke Amahusu. Dari Amahusu kemudian ke wilayah raja Nusaniwe yang berdiam di kampung Kecil Eri - Amanila, selanjutnya ke Silale, Nusaniwe, Latuhalat, Hatiari, Seri dan kampung lain sekitar wilayah Urimeseng. Perjalanan penginjilan kedua dimulai dengan mengunjungi kampung-kampung Kristen di Leitimur Tengah. Dari Hatiwe, Xaverius meneruskan perjalanan ke Hukunalo. Di sini ada bagian teluk yang sempit, tempat tanjung Martafons. Kemudian mereka belayar melintasi laut yang berjarak kurang lebih 500 meter ke pantai Leitimur, dan menyinggahi kampung Halong. Dari sana, setengah jam ke arah utara, mereka menyinggahi kampung Lateri. Satu jam ke arah selatan, terdapat kampung Amantelu. Kedua kampung ini berada di bawah kekuasaan Raja Soya, termasuk juga kampung Ahusen yang dikunjungi oleh Xaverius setelah melewati Amantelu.

Negeri Soya, yang berjarak 4,5 Km dari Amantelu dan dikitari hutan yang lebat merupakan tempat pertama di daerah pegunungan granit Leitimur Tengah yang dikunjungi oleh Xaverius. Rumah penduduk masih terletak jauh satu dengan yang lain. Pada malam hari orang-orang kampung biasa bepergian dengan obor damar yang dibuat dari kelapa tumbuk untuk menerangi jalan. Seperti di kampung pegunungan lainnya, penduduk Soya saat itu harus mengambil air di lembah, sedangkan kebun mereka, tempat menanam ladah, cengkeh, sagu, dan tanaman lainnya terpencar di hutan. Raja Soya kala itu dibaptis bersama rakyatnya dan diberikan nama dan gelar Portugis, Dom (tuan) seperti kedua rekannya di Kilang dan Nusaniwe. Sesudah kampung Soya, jalan turun dapat melewati lembah Wai Sasun, kemudian menanjak naik sejauh satu mil ke kampung Hatalai, jauh di atas lembah Wai Hoa. Dari Soya, Xaverius kemudian ke Hatalai, Naku, Kilang, Hukurila, Leihari dan Rutung. Saat itu, daerah Hutumuri masih memeluk agama Islam, karena kuatnya pengaruh kerajaan Hitu. Setelah menyelesaikan kunjungannya di Pulau Ambon, Xaverius melanjutkan kunjungannya di Pulau Seram, Nusalaut dan Buru, kemudian ia kembali meneruskan perjalanan misinya ke wilayah lain pada bulan Juni 1547 sekaligus meninggalkan Ambon.

Xaverius dikenal sebagai seorang imam yang baik dan bersahaja dengan semua orang yang ditemuinya, termasuk penduduk negeri Soya. Metode penginjilan pun sedikit ditransformasi dari metode sebelumnya, yang cenderung hanya membaptis dan membiarkan mereka yang sudah dibaptis begitu saja. Tapilatu menuliskan beberapa metode penginjilan yang digunakan oleh Xaverius, yaitu :

Pertama, Pembaruan metode pengkristenan. Ganti cepat-cepat membaptis tanpa persiapan, ia kini memakai metode lain yakni dimulai dengan katekisasi kepada calon baptisan. Walaupun demikian ternyata pembaptisan masal sulit dihindari karena jumlah tenaga misionaris yang sangat terbatas. Baptisan kemudian dilanjutkan dengan katekisasi sesudah baptisan. Materi katekisasi disusun berdasarkan isi Pengakuan Iman Rasuli yang disesuaikan dengan daya tangkap orang-orang pribumi. Untuk memudahkan penghafalan materi katekisasi dan isi pokok-pokok ajaran kristiani yang penting (Pengakuan Iman Rasuli, Doa Bapa Kami, Ave Maria atau Puji-pujian Maria, Dasa Tita, dll.), semuanya disusun dalam bentuk lagu dan dinyanyikan di tempat-tempat terbuka (oleh anak-anak dan pemuda), di rumah (oleh ibu-ibu), dan di laut (oleh para nelayan).

Kedua, pengadaan pertemuan-pertemuan (ibadah-ibadah) jemaat beberapa kali dalam seminggu, terutama pada hari Sabtu malam untuk kaum perempuan dan hari Minggu untuk kelompok laki-laki. Dalam pertemuan-pertemuan itu dilakukan acara perdamaian bagi mereka yang bermusuhan dan dilaporkan jumlah bayi yang dilahirkan dan jumlah yang meninggal dunia.

Ketiga, pelaksanaan katekisasi bagi orang-orang yang belum dibaptis. Di desa-desa para katekisan harus berkumpul setiap hari Minggu di gereja untuk bersama-sama mengulangi pelajaran yang telah diberikan kepada mereka. Peserta katekisasi yang pandai dan menguasai pelajarannya dengan baik, diangkat menjadi „‟katekit‟‟ (apostolat awam), terutama di jemaat-jemaat yang jauh dari pusat (Ambon) dan di sana tidak terdapat seorang imam pun. Tugas seorang „‟katekit‟‟ ialah mengawasi kesusilaan hidup anggota jemaat, memberi pengajaran katekisasi, mengusahakan perdamaian bagi mereka yang bertengkar, membimbing orang-orang yang belum memiliki pengalaman dalam hidup kristiani dan tugas pelayanan lainnya di dalam jemaat.

Keempat, penyelenggaraan upacara-upacara gerejani. Yang paling menonjol di antaranya ialah upacara yang diadakan pada malam hari, yang diikuti oleh kelompok pemuda. Mereka membawa obor dan lonceng yang dibunyikan, diiring doa dengan suara nyaring terhadap orang-orang yang berada di Api Penyucian, orang-orang yang sakit, orang-orang berdosa, dll.

Kelima, pengadaan pelayanan kasih (diakonia) kepada orang-orang miskin. Dananya bersumber pada kolekte jemaat yang dikumpulkan dalam ibadah-ibadah hari Sabtu dan Minggu. Semuanya harus dibagi habis, tidak boleh ada yang ditahan.

Keenam, penekananan pelayananan pada anak-anak, dan hamba-hamba. Sebelumnya pelayanan dan misi lebih diprioritaskan kepada kalangan atas dengan pertimbangan apabila kelompok ini telah dikristenkan, dengan sendirinya rakyat yang dipimpin akan menjadi Kristen. Xaverius berargumentasi, dengan penekanan pada golongan „‟bawah‟‟, gereja dapat bertumbuh dari bawah. Dalam praktek, pendekatan demikian (dari bawah) boleh dikatakan tidak berhasil sama sekali dalam proses pengkristenan karena ciri masyarakat fiodalistis yang dominan.

Metode pelayanan baru yang diterapkan Xaverius sedikit banyaknya telah ikut menambah pengalaman hidup kristiani jemaat yang dilayani. Di samping itu, sifat keteladanan yang penuh cinta kasih dan keramahan yang diperlihatkan Xaverius kepada siapapun, serta motto hidupnya: “habis terbakar seperti lilin untuk Kristus”, setidak-tidaknya telah mempertebal kesetiaan mereka terhadap iman kristiani yang dianut.

Perhatian dan pelayanan terhadap jemaat-jemaat di Ambon dan sekitarnya bukan saja diberikan ketika berada bersama-sama tetapi juga ketika hendak meninggalkan mereka. Sebelum meninggalkan Ambon untuk bekerja di negara lain, disetiap jemaat ia mengangkat beberapa orang, yaitu para katekit, guna melayani jemaat setempat. Dan ketika hendak kembali ke Malaka, ia menulis surat kepada atasannya dengan permintaan agar imam-imam lain dikirim ke Maluku. Kebijaksanaan ini sudah lebih baik daripada sikap misi Negara sebelumnya yang membiarkan jemaat-jemaat yang baru tanpa penggembalaan bertahun-tahun lamanya.

Jauh setelah Xaverius meninggalkan Ambon, pada tahun 1605 armada VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie) memasuki labuhan Honipopu dan menyerang Benteng Portugis, Benteng Kota Laha dari laut yang dipimpin oleh Steven vander Hagen, dan mereka berhasil merebut benteng tesebut dan menamainya Victoria. Sebagai penguasa, VOC yang menganut agama Kristen Protestan (Calvinis), menghendaki agar jemaat-jemaat Katolik pribumi dijadikan pula sebagai pengikut Protestan. Kebaktian protestan pertama kali dilakukan di dalam benteng Viktoria di Ambon pada tanggal 27 Februari 1605. VOC juga memindahkan pusat perdaganagn dari Ternate ke Ambon, dan memajukan masyarakat Kristen di wilayah itu. Proses pendidikan, hingga penyiapan para tenaga pengingjil pribumi, seperti para guru jemaat juga mendapat perhatian di masa ini. Di Soya, seorang guru jemaat yang sangat berperan penting dalam menghidupkan nilai-nilai Kekristenan (Protestan) adalah Guru Jemaat Lazarus Hitijaubessy.

Pada prasasti kuburannya yang melekat dengan dinding gereja tua di Soya dituliskan bahwa Guru Jemaat Lazarus Hitijahubessy lahir pada tahun 1817 dan meninggal pada tahun 1871. Belum ada keterangan pasti sejak kapan Hitijaubessy memulai pelayanannya di Soya.

Ketika Joseph Kam yang dikenal sebagai Rasul Maluku datang ke negeri Soya pada tahun 1821, suatu data statistik menunjukkan bahwa : terdapat 22 orang anggota sidi gereja, 21 orang Anggota Baptis dewasa, 7 orang anak di luar sekolah, dan satu orang anak yang dibaptis. Jumlah seluruh jemaat yang dilayani hingga kedatangan Joseph Kam sebanyak 61 orang. Perkembangan injil tampak berjalan lambat karena banyak penduduk Soya yang memilih tinggal di hutan demi menghindarkan diri dari para penjajah.

Terkait kepemimpinan Jemat GPM Soya telah dilayani oleh Guru Jemaat, Ketua Majelis Jemaat dan Pendeta Jemaat yang dalam data tahun pelayanan masih banyak yang tidak terdata. Kepemimpinan Jemaat GPM Soya adalah : 1. DS. T. J. Sopacua (1876); 2. DS. Maitimu; 3. DS. Siahaya, 4. DS. J. Hitijahubessy; 5. DS. Corputty; 6. DS. Tahya; 7. DS. M. Haaulussy (1927); 8. DS. F. Haulussy; 9. DS. Tutupary; 10. DS. Siahainenia; 11. DS. M. Rajawane; 12. DS. M. Alfons; 13. DS. F. Alfons; 14. Pendeta J. B. Siahaya; 15. Pendeta Nn. Kipuw, Sm. Th.; 16. Pendeta K. Pattinama, Sm.Th.; 17. Pendeta F. Holle, Sm.Th. (1978); 18. Pendeta J. Pelapory, Sm.Th.( 1982); 19. Pendeta Nn. Rumailaselan, Sm.Th.( 1984-Pendenta Jemaat); 20. Pendeta J. Istia, Sm.Th.(1985); 21. Pendeta A. Latuihamallo, Sm.Th.(1993); 22. Pendeta Ny. F. Tutuhatunewa, Sm.Th (1992-Pendeta Jemaat); 23. Pendeta L. J. Wattimury, Sm.Th.(1995); 24. Pendeta J. Hutubessy, Sm.Th. (2002); 25. Pendeta Ny. J. Marantika, Sm.Th. (2004); Pendeta F Wayabula, STh. (2005-Pendeta Jemaat); Pendeta F. Leassa, Sm.Th. (2009); 26. Pendeta , F. Huwae, STh. (2010-Pendeta Jemaat); 27. Pendeta P. A. Kempa, STh. (2012-2021); 28. Pendeta Ny. B. Bakarbessy, STh. (2013-2022-Pendeta Jemaat); 29. Pendeta Dj. R. Ohello, SSi. (2014-Pendeta Jemaat); Pdt. W. Ayal, M.Th (2022); dan Pdt. Ny. D. Soparue/L (2022-Pendeta Jemaat)

Dalam jemaat GPM Soya terdapaat 3 (tiga) buah gedung gereja yang menampung baik kegiatan peribadahan maupun kegiatan pembinaan anak dan remaja serta kegiatan kegiatan lainnya yang berhubungan dengan aktivitas gerejawi.

Gedung Gereja Soya
Dalam pembangunan awal gedung gereja di Negeri Soya tidak diketahui, tetapi dengan proses penginjilan di Negeri Soya yang terus berlanjut hingga pada tahun 1876, maka Raja Soya Stephanus Jacob Rehatta dengan guru jemaat T.J. Sopacua memimpin penduduk Soya untuk memperluas gedung gereja Soya secara semi permanen yang digunakan sampai tahun 1927. Sesudah itu, seiring dengan bertambahnya jumlah jemaat yang sudah tidak dapat ditampung pada gedung gereja Soya sebelumnya maka pada tahun 1927 di masa pemerintahan Raja Leonard Lodwijk Rehatta dan Penatua Ds. M. Haulussy gedung gereja Soya yang permanen dibangun, yang menjadi kepala tukang pada pembangunan tersebut adalah Penatua Ezer Soplanit. Pembangunan gedung gereja ini mengikuti konstruksi gereja tua di kota Ambon yang dibangun pada tahun 1781 pada masa pemerintahan gubernur Bernadus Van Pleuren.

Pada tahun 1996 kembali dipugar dan atau direstorasi oleh tim Direksi (Ketua : Ir. Herman Rehatta, MS.) yang dibentuk oleh Majelis Jemaat dibawah panduan Bidang Museum Sejarah dan Kepurbakalaan Kanwil Pendidikan dan Kebudayaan Maluku. Pengerjaannya dilakukan oleh para tukang dari Negeri Booy yang dipimpin kepala tukang Bapak Petrus Soumokil.

Dari data dan informasi yang ada tentang nama gereja Soya, ditemui sesuatu yang unik karena gedung gereja tersebut diberinama sesuai dengan tempat, yaitu Gereja Soya. Hasil ini hanya bertahan hingga 28 April 2002 saat Negeri Soya diserang oleh kaum perusuh yang mengakibatkan korban jiwa meninggal 11 orang, 12 orang luka berat, dan sejumlah lain luka ringan, disamping 22 buah rumah hangus terbakar rata dengan tanah, dan Gedung Gereja Soya yang telah menjadi Bangunan Cagar Budaya. Gereja Soya kemudian berhasil dibangun kembali dan diresmikan oleh Ketua Sinode GPM Dr. Chr. J. Ruhulessin, M.Si dan Gubernur Maluku, Karel Albert Ralahalu pada tahun 2003.

Gedung Gereja Lazarus
Kebutuhan akan pelayanan di Jemaat GPM Soya yang sangat luas membutuhkan keberadaan gedung gereja yang representatif. Untuk hal tersebut maka di Kayu Putih dibangun sebuah Gedung ibadah untuk anak dan orang tua yang berkembang menjadi gedung gereja Sementara yang disebut Gereja Sektor. Keberadaan gedung gereja tersebut sangat membantu Jemaat Soya yang berdomisili di Kayu Putih untuk beribadah, dimana sebelumnya harus beribadah di Gedung Gereja Soya. Gedung gereja Sektor dibangun pada tahun 1972 dengan ketua pembangunan Bpk. Yan Sopacua (Alm) dan kepala tukang Bpk. Fritzs Soplanit (Alm).

Dengan perkembangan jemaat yang pesat membutuhkan gedung gereja yang lebih besar agar dapat menampung jemaat untuk beribadah, maka dibentuklah panitia pembangunan gedung gereja Lazarus yang diketuai oleh Bpk. Drs. Max Manuputty (Alm).

Gedung Gereja Lazarus yang berdiri diatas lahan seluas 50 x 30 M ini mulai dibangun dengan peletakan batu Pertama pada tanggal 11 September 1994 oleh : 
- Ketua BPH Sinode GPM Pdt. A. Soplantila, S.Th
- Wali Kota Ambon Yohanes Sudiono
- Penjabat Kepala Desa Soya Wales Huwaa
- Ketua Majelis Jemaat GPM Soya Pdt. L. Wattimuri
- Ketua Panitia Drs. Max Manuputty (Alm)
- Kepala Tukang Johan Rehatta
- Amus Hitijahubessy (Alm) (Mewakili Pemilik Tanah)

Panitia Pembangunan Gereja ini dibentuk dengan SK Ketua Majelis Jemaat GPM Soya Pdt. J. Istia (Alm) dan Sekretaris Penatua M. W. Tamtelahitu (Alm) dengan SK Nomor 04 Tahun 1993 dan diperbaharui dengan SK Ketua Majelis Jemaat GPM Soya Pdt. J. H. Hutubessy dan Sekretaris Penatua M. W. Tamtelahitu Nomor 11/III/ORG/7/2003 tanggal 10 Juli 2003.

Dengan bantuan segenap anggota Jemaat GPM Soya baik secara materiil maupun moril gedung gereja ini kemudian diresmikan pada tanggal 21 Desember 2003 oleh Gubernur Maluku Karel Albert Ralahalu dan Ketua BPH Sinode DR. I. W. J. Hendriks.

Sejak tanggal peletakan batu pertama sampai diresmikannya Gedung Gereja yang kemudian diberi nama “LAZARUS” ini pengerjaannya terhitung 9 tahun 3 bulan 10 hari.

Nama “Lazarus” diambil dari nama penginjil pribumi pertama Lazarus Hitijahubessy yang wilayah pelayanannya meliputi beberapa daerah pegunungan di jazirah Leitimur. Keturunannyalah yang kemudian memiliki hak secara hukum atas tanah yang di atasnya Gereja ini berdiri. Dan dengan izin dari mereka tanpa dipungut biaya gereja ini kemudian dibangun.

Gedung gereja Lazarus kemudian disempurnakan dengan pembangunan Menara Lonceng oleh panitia pembangunan yang diketuai Ibu Ace Tulalessy, yang dengan bantuan banyak pihak maka dapat diresmikan pada tanggal 19 Desember 2010 oleh ketua klasis pulau Ambon Pdt Mayaut, sehingga jadilah gedung gereja yang lengkap seperti yang ada sekarang.

Karenanya marilah kita mensyukuri rahmat indah Tuhan ini dan selalu meyakini bahwa penyertaanNYA selalu ada selama Gereja ini tetap ada.

Gedung Gereja Bedfage
Perkembangan jemaat yang pesat maka untuk pelayanan dalam jemaat GPM Soya terhadap anak dan remaja di Sektor 3 dibangun Sentra Pembinaan Anak dan Remaja. Ketua panitia pembangunan adalah Bpk. Simon Muskita (Alm) dan kepala tukang Bpk. Max Souhuat.

Dalam perkembangannya maka gedung sentra tersebut diwacanakan untuk difungsikan sebagai gedung gereja. Maka pada tahun 2009 gedung tersebut diresmikan sebagai Gedung Gereja Bedfage untuk melayani jemaat GPM Soya, khususnya yang berdomisili di sektor Pniel, Teberias dan Getsemani.

Pada tahun 2022 tepatnya di hari Minggu tanggal 8 Mei diselenggarakan kebaktian Peletakan Batu Penjuru untuk pembangunan Gedung Gereja Betfage yang baru. Gereja Betfage kembali dibangun dengan bangunan yang rencananya lebih representatif dengan maksud dapat menampung jemaat yang lebih banyak seiring dengan perkembangan sektor Getsemani dan sektor pniel yang telah dimekarkan dan menambah 2 sektor baru yaitu sektor Bethel dan Elim. 

Perkembangan Jemaat GPM Soya 
Sejarah Terbentuknya Sektor Dan Unit Di Jemaat GPM Soya
Untuk menjalankan pelayanan yang menyeluruh kepada tiap anggota keluarga dalam jemaat dan mengacu pada rentan kendali pelayananya, maka aspirasi pembentukan wadah pelayanan Sektor Unit telah dimulai di Jemaat GPM Booi Klasis Pulau-Pulau Lease dan di Jemaat GPM Rehobot Klasis Pulau Ambon telah di bentuk wadah pelayanan ini. Pada tahun 1973 di Jemaat GPM Booi mulai dibentuk model percontohan pada masa kepemimpinn Pdt. Bpk Abraham Latuihamallo selaku ketua Majelis Jemaat GPM Booi. Di tahun yang sama, Jemaat Rohobot pun telah dimulai pelayanan dalam sektor dan unit. Wadah ini dibentuk telah berjalan walaupun masih mengalami banyak ketimpangan. Dua tahun kemudian barulah aspirasi ini diputuskan dan disahkan pada Sidang Sinode GPM Tahun 1975. Namun pendeta yang memprakarsainya telah membentuk Jemaat Oikumenis sendiri di kawasan Air Salobar (Benteng Atas). Setelah keputusan sinode tentang pembentukan wadah pelayanan sektor dan unit ini ditetapkan, maka penjabaran keputusan ke tiap-tiap klasis mulai berlangsung dari tahun 1976 sampai 1981.

Terbentuknya sektor dan unit di Jemaat GPM Soya pada masa kepemimpinan Pdt. Bpk Yan Pelapory. Pembentukan ini tanpa penjabaran dan penjelasan yang baik kepada jemaat, dan terkesan menjalankan keputusan sinode secara sepihak sehingga mendapat tantangan dari jemaat.

Di Jemaat Soya sendiri, penjabaran keputusan ini secara resmi disampaikan dalam Sidang Jemaat I pada masa kepemimpinan Pdt. Bpk Istia tahun 1986. Terjadi pergolakan hebat dalam jemaat GPM Soya menyakut pemberlakuan keputusan sinode ini. Hal ini dikarenakan sebelum terbentuknya sektor dan unit di Jemaat GPM Soya telah ada sebuah perkumpulan yang dikenal dengan nama Peremponang Rumah Tangga (PRT). Perkumpulan ini telah ada sejak tahun 1956.

Perkumpulan ini yang mengatur semua pelayanan keagamaan di dalam sektor dan menjalankan ibadah kelompok yang berlaku rutin tiap minggunya. Kelompok ini (PRT) sering mengadakan pertemuan yang didalamnya membahas pula urusan pemerintahan Negeri Soya. Anggota yang tergabung dalam kelompok ini kebanyakan merupakan orang-orang yang berperan penting dalam urusan adat di Negeri Soya seperti raja dan para saniri, sesepu adat, tokoh-tokoh politik dan masyarakat, dan orang-orang pandai pada masa itu. Terjadi silang pendapat besar- besaran. Mereka bersikeras, dan hanya mau membentuk sektor dan menolak pembentukan unit karena mereka merasa tidak perlu adanya unit-unit kecil dalam jemaat, mereka dapat mengatur semua pelayanan dalam ruang lingkup dibawah majelis jemaat.

Masa-masa ini adalah salah satu bagian penting dalam sejarah perkembangan pelayanan di Jemaat GPM Soya. Karena banyak tindakan protes keras yang dilontarkan secara terbuka dan terang-terangan dari golongan ini kepada para pendeta serta majelis jemaat yang mau memberlakukan pembentukan unit sektor. Untuk menenangkan situasi dan kondisi waktu itu, pendeta jemaat pun mengalah.

Untuk menyelesaikan permasalahan ini, Sinode GPM mengutus Pdt Bpk. A. Latuihamallo turun langsung ke Jemaat Soya sebagai ketua majelis jemaat. Maka dimulailah pula rekonsiliasi, penyelarasan sudut pandang dan pencarian jalan keluar untuk masalah ini. Mulai ada pendekatan dengan perkumpulan ini. Pertemuan-pertemuan berlangsung secara formal bahkan secara personal dengan para petinggi kelompok ini.

Didapati beberapa kesepakatan bersama yaitu; pertama, pembentukan tiga sektor dalam jemaat ini. Sektor satu di Soya Atas (sekitar gereja soya), sektor dua di Soya Bawah ( Seruang), dan sektor tiga di kayu putih. Pada masa itu sektor satu dan sektor tiga yang fanatik mendukung PRT, sedangkan sektor dua adalah kelompok yang bersebrangan dengn PRT dan mendukung pembentukan unit. Mereka mulai memberlakukan ibadah di unit –unit kecil (saat itu dikenal dengan nama Ibadah Wiik). dan yang kedua adalah pembentukan kelompok-kolompok kecil dibawah naungan PRT diseluruh lingkup pelayanan Soya Kayu Putih yang merupakan perpanjangan tangan dari PRT. Ada delapan wilayah koordinator yang dibentuk.wilayah 1-4 di soya sedangkan 5 -8 di kayu putih.

Di kayu putih sendiri diangkatlah beberapa koordinator wilayah. Yang diketuai oleh para punggawa PRT Kayu Putih. Koordinator wilayah 5 diketuai Bpk Nick Sahetapy yang daerah pelayanannya dimulai dari lorong sagu sampai depan SMPN 10 Ambon).,Koordinator wilayah 6 (lorong SMP Negeri 10) BpkTjas Pesiwarissa, wilayah 7 (air kuning ) oleh Bpk Kres Huwae, dan wilayah 8 (kayu tiga –asrama polisi) Bpk Viktor Mandagi.

Dalam Sidang jemaat (III) tahun 1987, PRT meminta kejelasan pada pihak majelis jemaat terkait arah pelayanan dalam sektor dan terkait pula peran koordinator wilayah. Maka pada tahun 1988 dibentuklah beberapa persekutuan muhabet dan paduan –paduan suara di tiap tiap kelompok kecil ini. Ketua Muhabet pertama kayu putih Bpk. Tjas Pesiwarissa. Muhabet inilah yang merupakan unit-unit bayangan yang telah dipersiapkan untuk nantinya menjadi unit.

Hingga pada Sidang Jemaat GPM Soya tahun 1988, barulah resmi ditetapkan unit. Unit 1 sampai dengan 4 di Soya, sedangkan unit 5 sampai 8 di kayu putih. Yang pembagiannya berdasarkan daerah pelayanan koordinator wilayah yang dikoordinir oleh PRT sebelumnya.

Pada masa-masa awal ini, anggota keluarga yang tergabung di tiap unit masih sangat sedikit mengingat jumlah kepala dalam jemaat masih sangat sedikit hanya sekitar 90-an kepala keluarga. Seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk di Jemaat GPM Soya, maka pemekaran unit sektor pun dilakukan. Sampai saat ini telah terjadi 3 kali pemekaran sektor dan unit di Jemaat GPM Soya. Wadah Perkumpulan Rumah Tangga Soya dan Kayu Putih masih tetap eksis sampai hari ini.

Tokoh –tokoh yang berperan dalam Perkumpulan Rumah Tangga antara lain : Bpk Nick Sahetapy, Bpk Max Manuputty, Bpk Noke Hartog, Bpk . Viktor Mandagi, Bpak. Chres Nanlohy, Bpk Tjas Pesiwarissa, Bpk Carolis Soplanit, Bpk Wales Huwaa. Tokoh –tokoh yang berperan dalam pembentukan unit natara lain : Pdt. Y. Pelapori, STh., Pdt. Istia, STh., Pdt. Bpk . Bram Latuihamallo, STh, Bpk Wenan Hitijahubessy (MJ),Bpk Demmy Soplanit (MJ.), Bpk Natanel Saptenno dan Bpk. W. Rehatta.

Terbentuknya Wadah Pelayanan Laki-Laki 
Berdasarkan keputusan Sinode tentang pembentukan Wadah Pelayanan Laki-laki dan dilatar belakangi oleh keinginan Laki-laki untuk membentuk wadah sendiri dalam melaksanakan pelayanan setiap minggunya, maka pada tahun 2005 pada masa kepemimpinan Pdt. Bpk. Leo Wattimury terbentuklah Wadah Pelayanan Laki-laki yang di Ketuai oleh Bpk. A. Rehatta. Pada awal pembentukannya WPL masih melibatkan seluruh komponen laki-laki di jemaat soya dengan anggotanya ± 100 Orang dengan pembagian sekitar 33 Kepala Keluarga di Kayu Putih dan sekitar 70 Kepala Keluarga di Soya. WPL merupakan salah satu wadah dalam pembentukan iman dari Laki-Laki dan merupakan suatu ikatan satu-sama lain dalam menjalankan misi Kristus di Jemaat Soya sehingga memotivasi seluruh laki-laki di soya melibatkan diri di dalamnya.

Tokoh-tokoh yang berperan dalam Wadah Pelayanan Laki-Laki adalah : 1. Bpk. Rein Hitijahubessy, 2. Bpk. Chres Huwae, 3. Bpk. Yan Sopacua, 4. Bpk. Noke Hartog, 5. Bpk. Max Manuputty, 6. Bpk. Nick Sahetapy, 7. Bpk. Leo Tamtelahitu.

Pada awalnya wadah ini masih dalam lingkup jemaat, tetapi dengan peta wilayah pelayanan yang luas disertai kebutuhan pelayanan yang lebih evektif, maka wadah pelayanan diarahkan pada masing masing sektor pelayanan. Sesuai dengan penatalayanan yang ada maka pada masa ini terdapat 9 (Sembilan) kelompok wadah pelayanan dalam jemaat GPM Soya.

Terbentuknya Wadah Pelayanan Perempuan
Sesuai dengan keputusan sidang klasis pulau ambon yang mengatur tentang pembentukan Wadah Pelayanan Perempuan di tingkat jemaat pada tanggal 5 Mei 1968, oleh istri Pdt. Marthen Siahaya (Alm) yang pada saat itu menjabat sebagai ketua majelis jemaat GPM Soya, ibu Telly Siahaya (Alm) dibentuklah Wadah Pelayanan Perempuan Jemaat GPM Soya pada tanggal 26 Mei 1970 dengan nama „Wadah Pelayanan Perempuan WYK I Soya‟, karena pada saat itu belum terbentuk sektor dan unit. Pada saat terbentuk WPP WYK I Soya diketuai oleh Ibu Agu Soplanit (Alm), Sekretaris Ibu Telly Siahaya (Alm) dan Bendahara Ibu Ambang Huwaa (Alm) dengan keanggotaan ± 30 orang. Berselang 4 hari tepatnya pada tanggal 30 Mei 1970 dibentuklah Wadah Pelayanan Perempuan di Kayu putih dengan nama wadah pelayanan Perempuan WYK II Kayu Putih, dengan kepengurusan sebagai berikut : Ketua : Ibu Ne Huwae, Sekretaris: Ibu Yo Soplanit, Bendahara : Ibu Ake Sahetapy dengan anggota kurang lebih 40 orang.

Wadah pelayanan perempuan jemaat GPM Soya dari catatan sejarah wadah ini hidup ditengah-tengah suasana perjuangan dan bertumbuh karena keinginan beribadah kepada Tuhan dan melayani sesama. Suatu perjuangan yang cukup panjang dan sepanjang perjuangannya penuh dengan kenangan dan harus melalui perjungan untuk mengembangkan diri.

Berbagai kendala dihadapi pada saat pembentukan wadah pelayanan perempuan, salah satunya karena tidak semua perempuan yang bergabung dalam wadah ini. Hal ini disebabkan karena belum ada pemahaman benar tentang fungsi dan tujuan dari wadah pelayanan perempuan. Setelah mengikuti penyuluhan dan berbagai pelatihan di tingkat klasis dan dilakukan sosialisasi oleh pengurus maka wadah ini berkembang.

Pemekaran wadah ini terjadi pada tahun 1985 yaitu menjadi 2 sektor dan berganti nama sesuai sektor yang ada. Pemekaran terjadi di soya dan kayu putih berdasarkan sektor yang terbentuk, yakni : Sektor Kalvari dengan wadah pelayanan perempuan Ruth, dan Sektor Karmel dengan wadah pelayanan perempuan Debora. Di Kayu Putih menjadi 3 sektor : sektor Sion dengan nama WPP Ester, sektor Zaitun dengan nama WPP Lydia, dan sektor Pniel dengan nama WPP Monica.

Sesuai dengan perkembangan yang terjadi dan perpindahan penduduk yang menetap di jemaat GPM Soya maka lewat persidangan jemaat terjadilah pemekaran di sektor Zaitun yaitu WPP Lydia dan di sektor Getsemani dengan nama WPP Hana. Dengan adanya berbagai pengembangan terhadap perempuan, penyuluhan dan berbagai pelatihan-pelatihan yang dilakukan serta pengembangan wawasan kristen dan perilaku oikumene yang diterapkan memotivasi seluruh perempuan untuk bergabung dalam WPP.

Tokoh-tokoh yang berperan pada saat pembentukan WPP di Jemaat GPM Soya adalah : WPP di Soya : Ny. Agu Soplanit (Alm), Ny. Ambang Huwaa (Alm), Ny. Ne Soplanit (Alm), Nn. Merry Pesulima (Alm), Nn. Fien Saptenno, Ny. Bith Tamtelahitu, Ny. Mien Rehatta (Alm), Ny. Mie Sulilatu (Alm), Ny. Di Hitijahubessy, Ny. Welly Soplanit, Ny. Omie Saptenno, Ny. Lis Soplanit, dan Ny. Bith Saptenno. Tokoh yang berperan dalam mengembangkan WPP di Kayu Putih : Ny. Ne Huwae (Alm), Ny. Lootje Pesiwarissa (Alm), Ny. Yo Soplanit, Ny. Omie, Manuputty, Ny. Ake Sahetapy, Pdt. Ny. Conie Wattimury, Pdt. Ny. Roos Litamahuputty, Ny. Nel Tunay (Alm), Ny. Agu Kelpitna (Alm), Ny. Dien Alfons (Alm), Ny. Tati Sopacua (Alm), Ny. An Tamtelahitu, Ny. Sin Alfons, Ny. Merry Pattileuw.

Terbentuknya Wadah Pelayanan Anak dan Remaja
Sekolah Minggu sudah ada sejak dulu dan belum diketahui kapan awal terbentuknya. Pada saat Belanda masuk dan berdiam di Soya, sekolah minggu sudah ada dan dikenal dengan Nama “Zondag Schol” (Oleh Orang Belanda) dan “Sondakh” (Oleh Orang Soya).

Dalam perjalanan pelayanan dari tahun ke tahun, sekolah minggu tetap menjadi perhatian seluruh pelayan di jemaat soya. Sekitar tahun 1960 sekolah minggu yang di kenal dan melekat pada orang soya dengan sebutan “Hari Ahad” masih terbatas dalam pelayanannya dan berpusat di Soya. Sebagian besar pengasuh adalah merupakan majelis dan tuagama dalam jemaat soya.

Nama Sekolah Minggu mulai dikenal sekitar tahun 1975 pada masa kepimpinan Pdt. Marthen Siahaya dan semakin berkembang, terbukti dengan adanya Komisi yang menangani Sekolah Minggu dimana ketua komisi anak dan remaja saat itu adalah Ibu Non Salamena.

Awalnya sekolah minggu atau Hari Ahad berpusat di Soya. Sekitar tahun 1980 terjadi pemekaran 2 sektor yaitu sektor 1 dan sektor 2, sehingga sekolah minggu pun terbagi soya dan kayu putih. Dukungan orang tua terhadap sekolah minggu sangat baik. Materi yang diajar adalah merupakan materi yang diberikan oleh pendeta setelah ibadah minggu yakni berdasarkan Alkitab dengan pembagian secara bergantian minggu pertama perjanjian lama, minggu kedua perjanjian baru dst. Dengan tujuan agar anak dapat mengetahui kisah-kisah serta mengenal cerita dalam alkitab. Atas inisiatif dari Bpk Hein Patty, Ibu Levie Patty dan Ibu Iche Pesulima terbentuklah Tunas Pekabaran Injil di masing-masing sektor.

Sekitar tahun 1982, oleh Pdt. Janes Pelapory membentuk sekolah minggu di Asrama Perwira (Asrama Polisi) dan Ibu Nel Pattikawa di angkat menjadi pengasuh untuk bersama-sama membina dan mengajar anak – remaja di situ. Dalam perkembangannya sekolah minggu pada saat itu masih dibagi berdasarkan usia/ kelas menurut Sekolah.

Sekitar Tahun 2005 pada saat Ibu J. Tomasila menjabat sebagai Ketua Sub Komisi Anak dan Remaja, barulah diberlakukan Jenjang berdasarkan usia/ kelas di sekolah. Sekitar tahun 2012 pada saat Sdr. Roy Siahaya menjabat sebagai Ketua sub komisi anak dan remaja diberlakukan pembagian jenjang berdasarkan usia anak, dan selanjutnya pada tahun 2013 diberlakukan sub jenjang, yaitu sebagai berikut : Jenjang TK (Usia 3 – 6 Tahun), Sub Jenjang TK I (Usia 3-4 Tahun), Sub Jenjang TK II (Usia 5 Tahun), Sub Jenjang TK III (Usia 6 Tahun), Jenjang Anak Kecil (Usia 7 – 9 Tahun), Sub Jenjang AK I (Usia 7 Tahun), Sub Jenjang AK II (Usia 8 Tahun), Sub Jenjang AK III (Usia 9 Tahun), Jenjang Anak Tanggung (Usia 10 – 12 Tahun), Sub Jenjang AT I (Usia 10 Tahun), Sub Jenjang AT II (Usia 11 Tahun), Sub Jenjang AT III (Usia 12 Tahun), Jenjang Anak Remaja (Usia 13 – 15 Tahun), Sub Jenjang Remaja I (Usia 13 Tahun), Sub Jenjang Remaja II (Usia 14 Tahun), Sub Jenjang Remaja III (Usia 15 Tahun).

Hingga saat ini sekolah minggu telah berkembang dengan baik namun peran aktif orang tua dalam jemaat GPM Soya sangat terbatas dan kurang mendukung anak untuk terlibat dalam sekolah minggu. Kesadaran wajib sekolah minggu masih kurang, terbukti dengan masih banyak anak-anak yang belum terlibat dalam sekolah minggu olehnya orang tua memiliki peran yang besar untuk dapat melibatkan anak dalam kegiatan sekolah minggu.

Tokoh-tokoh yang berperan dalam Sekolah Minggu antara lain : Bpk. Hein Patty, Bpk. Jordan Pattileuw, Bpk. Esau Soplanit, Bpk. Jacob Soplanit, Bpk. Wales Huwaa, Bpk. Zefnath Pattileuw, Bpk. Nano Pesulima, Ibu Mien Rehatta, Ibu Katerina Manuputty, Bpk. Nani Soplanit, Ibu Engge Huwaa, Bpk Bobby Patty, Ibu Josepin Saptenno, Bpk Julius Manuputty, Ibu Martha Soplanit, Ibu Na Hatusupy, Ibu Nel Pattikawa, Bpk. Yob Pesulima, Bpk. Yance Pesulima, Ibu Adelin Pattileuw, Bpk. Ais Soplanit dan lain lain.

Posting Komentar

Subscribe Our Newsletter